Justru kau menulis surat buatku,
hal yang masih tetap saja kau lakukan
meski sebenarnya aku harus menunggu begitu lama
untuk bisa membaca tulisanmu yang lagi-lagi masih dengan menggunakan pena dengan tinta cina hitam
di atas kertas hvs setebal sepuluh halaman.
tentu bukan kebetulan bila setiap suratmu
selalu berisi sepuluh halaman…………………
dan aku harus semalaman menulis balasan di kertas serupa
meski aku memilih selisih selembar di bawahmu,
***
kau kirimi aku sebait sajak
yang pernah kita tulis beberapa tahun yang lalu
sendiri
jauh sampai ke ujung jalanku terbentang
semakin singup rasa semakin lengang
saat jauh dari belahan sayang
ketika rindu menghentak meradang
jiwa ini lelah bertanya
sampai kapan berkandung lara
hingga malam enggan lagi menyapa
dengan hinggar candanya yang bersuka
sepuluh lembar surat terukir
bercerita tentang duka yang mengalir
bertanya kapan segera berakhir
dan kebersamaan ini segera lahir
sungguh sangatlah beda
saat disisiku engkau ada
segalanya berjalan tampak suka
semua beban dipikul berdua
selagi sendiri
haripun tampak seperti mati
tiada lagi canda mengisi
hanya sepi yang setia menemani
semakin jauh berjalan
tumpah ruah, sesak isi perasaan
bila boleh aku berpengharapan
datanglah engkau dalam pelukan
jangan lagi enggan
_________ yang nyleneh dari suratmu kali ini adalah
kata terakhir di bagian bawah tulisanmu
“kita ketemuan di ujung senja, saat hujan pertama turun di pojokan Tugu Jogja”
padahal ini adalah awal musim kemarau yang konon katanya bakalan panjang, kering dan sangat menyengat